Agustus 27, 2012

jeruji

mata bulat polosnya memandang lurus ke luar rumahnya yang tak berhalaman. rambut ikal keriting tuiltuilnya membingkai lucu wajah polosnya. setiap pagi dia sudah siap di depan pagar rumahnya. dengan muka polos bangun tidur, memakai kaos kesukaannya, popok yang mungkin telah penuh terisi sejak semalam dan sepeda biru berkeranjangnya. mondar-mandir sambil mengayuh sepeda birunya di teras rumahnya yang tidak seberapa luas. sambil terus mengawasi wilayah di luar rumahnya. menunggu saat yang tepat ibunya membuka pagar, dan dia bisa langsung melesat keluar melewati pagar dengan sepeda birunya. kadang dia memintaku untuk membebaskannya dari jeruji itu. dengan kalimat yang terbata dan tidak jelas khas balita, dia meminta dengan tatapan mata polos namun tersimpan akal bulus khas anak-anak dibaliknya. ahahaha...pagi yang penuh warna selalu kulalui dengannya. saat yang paling indah baginya saat senja mulai menjemput mentari. saat itu, terkadang ibunya membuka jeruji pagarnya. dengan senyum riang, mata bulatnya membesar, dan tawa nyaring membuncah. segera dia kayuh sepeda birunya sekencang mungkin, mencoba menantang angin barangkali. memutari kompleks berkali-kali. sambil berceloteh dengan bahasanya sendiri. rambut keriting ikalnya terbang terbawa angin, melambai-lambai pada dedaunan gugur beterbangan. 
"hahahaha...ini saatnya saya bisa menemuimu, kapan kau bisa membawaku terbang?menjauh dari jeruji itu?"

Agustus 05, 2012

kembali bertanya tentang

satu ketika, saat saya diam dan menerang. kembali tanya itu terngiang. 
saat jawabnya masih mengambang di udara melayang bersama atom tanpa tujuan.
entahlah apa yang nanti menunggunya.
hanya saja masih meragu. saat hitamnya hari tak sepekat biasanya,
saat diam terusik sunyi yang semakin riuh.
apakah masih ada kamu denganku yang senang mempermainkan nasib.
yang membelokkan realita dan memutar akhir menjadi awal.
apakah pahit masih mampu kita ubah menjadi semanis gulali.
tak ada lagi tanya yang sempat terucap, karena sayangnya lidah keluh berucap
dan mulut terkunci malas untuk mengutarakan.
entahlah, demi sepekat malam yang memudar dan hening yang terusik senandung bisu.
tanya mengambang hampa di ruang penuh jawab.